Prasasti Lumajang
Prasasti Yang Ditemukan Di Wilayah Kabupaten Lumajang.
1.
Prasasti Ranu Kumbolo (Ranu Gumbolo).
Prasasti yang berangka tahun 1162 M dan 1185 M adalah
Prasasti tertua yang ditemukan di Ranu Kumbolo. Isinya : “ling dewa(?) mpu Kameswara tirthayatra“ Bahwa Dewa Mpu Kameswara Tokoh
yang disebut di dalamnya adalah Kameswara, dengan diawali partikel “dewa mpu”.
Menurut Dwi Cahyono dari Universitas
Negeri Malang Partikel (honorifix prefix) ini jelas menujuk pada seorang
rokhaniawan,yakni seorang yang tengah menempuh jalan (yatra) untuk
bersatu dengan dewata utama (istadewata)nya, sependapat dengan ahli lain, yang cenderung
untuk mengidentifikasikan Kameswara dengan raja Panjalu, yang memerintah tahun
1182-1185 M. Apabila benar demikian, berarti tokoh yang melakukan “tirthayatra
(perjalanan suci menuju tempat yang berair suci)” itu adalah raja Kadiri. Air
suci (tirtha) yang dimaksud tentulah Ranu Kumbolo. Air itu diyakini suci,
karena keluar dari gunung yang suci, yakni Mahameru.
Kemungkinan
ketika itu sang raja telah turun tahta, lantas menjalani hidup sebagai ‘orang
suci (dewa mpu)’, pada fase ketiga kehidupannya di lereng Semeru.
2.
Prasasti Tesirejo.
Prasasti ditemukan di Desa Kertosari yang berisi
kronogram atau candra Sengkala “Kaya Bhumi Sasiku” lambang angkat tahun 1113 Saka atau 1191
Masehi. Menurut Soekarto K. Atmodjo Berdasarkan angka tahun diperkirakan
Prasasti dibuat pada masa kekuasaan Raja Srenggo atau Raja Kertajaya yaitu Raja
terakhir Kerajaan Kediri yang dikalahkan oleh Ken arok pada tahun 1222 M.
(Soekarto K. Atmodjo, 1990:5). Prasasti Tesirejo diperkirakan sebagai penanda
wilayah-wilayah kekuasaan Kerajaan Kadiri.
3.
Prasasti Pasrujambe.
Prasasti
Pasrujambe ditemukan pertama kali tahun 1954 di Desa Tulungrejo Desa Pasrujambe
Kecamatan Pasrujambe. Prasasti ini diterjemahkan oleh Soekarto K.Amodjo tahun
1983. Prasasti yang menggunakan huruf dan bahasa Jawa Kuno ini menyebutkan nama
tempat (Contoh : Bukit Macan Petak, Bukit Walangtaga) nama para Brahmana
(contoh : Bagawan Citragotra, Bagawan Caci) ,nama Dewa Sesembahan (Contoh :
Batara Mahadewa/ SiWa Mahadewa, Batara Mahisora/Maheswara/ Wisnu, Batari
Prtiwi/ Dewi Bumi/ Tanah Air), dan berisi peraturan serta larangan dalam
kehidupan bermasyarakat dan kegiataan keagamaan. Prasasti Pasrujambe berangka tahun 1381 Caka
atau 1459 M.
Prasasti pendek (short
inscription) dengan aksara khas “Semeru Selatan” (Atmodjo 1990, Nastiti
dkk, 1994/5, Suhadi ddk, 1996/ 7) di dalamnya menyebut dewata Hindu, dewa lokal, orang
suci, bukit suci, binatang spesifik, larangan dan nasihat.
● Nama dewa-dewa Hindu, antara
lain batara Mahadewa, batara Pratiwi, batara Mahisora (Mashiswara), dan batara
Wisnu
● Nama dewa-dewa lokal, antara
lain sang Nawakrenda, sang Bala Sari-wu, sang Purusa, sang Kusika, dan Inasarga
● Orang-orang suci, antara lain
bagawan Citragotra dan bagawan Caci, pertapa (wong samadi) serta dukun
(dudukuna)
● Tempat (bukit) suci, antara
lain rabut Macan Petak dan rabut Liwa
● Larangan: larangan membuka
hutan orang bertapa
● Nasihat: Inilah resu // dari
para dewa, para guru // kalau menikah, agar // seperti beratnya, angka- // sa
dengan bumi // semoga terbkti penuh
●Tempat tertentu: ke Majaloka
●Binatang: burung biru/merak (nila
paksi), sebagai binatang endemik di hutan Semeru yang kini nyaris punah.
Butir-butir
informasi diatas memberi kita gambaran bahwa pada masa lalu (abad XV M),
tepatnya masa Majapahit Akhir, Pasrujambe merupakan tempat peribadatan luas,
padamana para rokhaniawan seperti pertapa, guru ataupun dukun melalukan
kegiatan keagamannya di tempat-tempat suci, antara lain di rabut Macan Petak
dan Rabut Liwa. Identifikasi demikian diperkuat oleh ada-nya temuan yang
berupa perangkat upacara, yang berupa sangku. Selain itu, di situs
Pasrujambe pernah dijumpai arca dan beberapa waktu lalu ditemukan menhir yang
biberi goresan garis membentuk simbol phallus. Artefak terakhir ini,
yaitu phallus, dapat dihubungakan dengan kata “sang Purusa”,
sebab ka-ta “purus” berarti pula genetalia laki-laki. Kultus terhadap phallus
(phallisme), pada masa Majapahit akhir, khususnya di daerah pertanian di
lereng gunung, menjadi fenomena yang
menonjol, dalam kaitan dengan ritus kesuburan (fer-tility cult) dan
dalam sejumlah hal bisa dihubungkan dengan Siwa (Cahyono, 2010). (AP2014)
Saya boleh tau sumbernya? Kebetulan saya juga sedang membahas peninggalan di Tengger terkait Hindu di Tengger.
BalasHapusMungkin akan sangat membantu sekali. Terimakasih
Kalo ttg Tengger coba cari desertasinya pak Ayu Sutarto
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Hapuscoba baca artikelnya pak Sukarto K. Atmodjo karena tentang prasasti diterjemahkan oleh ahlinya yaitu epigraf atau filolog atau ahli tulisan kuno atau naskah kuno...kalo saya lebih kepada analisa benda dan konteksnya berdasarkan tinggalan yang berada di lokasi
Hapus